Sebut saja namanya Eka (bukan nama sebenarnya). Eka ini dulu karyawan saya. Suatu hari, kakek saya meninggal. Lantas para karyawan saya berinisiatif untuk melayat ke Tasik (tanpa suruhan/permintaan ibu saya), termasuk Eka ini. Di tengah jalan dari Kuningan ke Tasik, sebuah kecelakaan terjadi yang menewaskan Eka. Jadi, para karyawan saya naik mobil buntung, eka yang naik di belakang ini tiba-tiba berdiri. Karena malam, Eka tidak sadar kalau di depannya ternyata ada sebuah portal. Dan Eka meninggal seketika karena tertabrak.
Kejadiannya sudah lama sekali, mungkin 3 atau 4 tahun yang lalu. dan kemarin, saya tiba-tiba kedatangan tamu. Seorang bapak tua yang ternyata adalah ayah Eka. Singkat cerita si bapak ini bermaksud menagih "janji" ibu saya. Iya, ketika Eka meninggal, ibu saya memang pernah berjanji, akan membantu jika Bapak eka ada kebutuhan, entah sedikit atau banyak. Tapi ujung-ujungnya, Bapak Eka malah memanfaatkan kami. Dan kedatangannya kemarin, adalah untuk menagih janji ibu saya untuk kesekian kalinya. Padahal ya, ketika terakhir kali meminta uang pada kami, Bapak Eka sempat berjanji untuk tidak akan pernah meminta lagi pada kami, dengan syarat memberikan modal untuk usaha. Ibu saya kasih. Lalu, ketika Lebaran, ibu saya mengiriminya makanan, baju, dan uang. Eh, si Bapak Eka malah bilang "urang mah teu butuh baju, butuhna ge duit" ("saya gak butuh baju, butuhnya juga uang). Ibu saya kesal dong, sudah dikasih hati, malah minta jantung. Gimana kita mau ngasih lagi, kalau ketika dikasih, malah direndahkan. Selain itu, sempat Bapak Eka mengancam akan mengadukan ke polisi, karena mobil yang dikendarai pada saat Eka meninggal itu pajaknya belum beres. Ibu saya tentu saja tidak takut dengan ancaman Bapak Eka. Ujung-ujungnya Bapak Eka minta maaf. Eh, kemarin bertemu dengan saya, si Bapak ini malah bilang lagi, "salahnya, dulu saya tidak membuat perjanjian hitam di atas putih", (maksudnya supaya ibu saya jadi memiliki kewajiban membantu keuangan si Bapak. Ya, saya jadi agak emosi dong. Kalau kami tidak punya hati nurani sama sekali, bisa saja saya bilang kalau kematian Eka itu bukan tanggung jawab kami, wong meninggalnya bukan ketika sedang bekerja, bahakn kepergiannya ke TAsik bukan permintaan ibu saya melainkan keinginan sendiri, trus, sekarang sekarang seolah-olah Eka meninggal gara-gara kami?! Ibu saya mau membantu justru karena kasihan, tapi kalau dimanfaatkan kami tidak terima dong. Namanya juga membantu, selama masih mau, ya kami bantu, kalau tidak mau, ya jangan berharap diberi. Apalagi kalau setiap diberi, malah jadi ngelunjak. Sebel.
Belum lagi Bapak Eka sempat nangis meraung-raung sambil teriak "nggak ridhoo... nggak ridhoo....". Yah, kalau kasihan sama anaknya yang sudah meninggal, kenapa tidak diridhokan saja. Tidak ridho pun, Eka tidak akan kembali. Maap, bukannya saya tidak punya empati. Tapi Bapak sendiri yang sudah mematikan rasa simpati saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar